Oleh: Wahyudin
(Pengawas PAI Kab. Bekasi)
Banyak orang mengeluhkan, betapa sulitnya mencari inspirasi. Sehingga sangat "susah hati" untuk memulai menulis. Statemen ini bisa benar bisa salah. Mengapa? Karena ada orang di saat membuat artikel atau karya tulis, sangat sulit memulainya. Berhari-hari memikirkan, akhirnya gagal total. Di lain pihak, banyak orang dengan mudah mengawali menulis dan meng-closing tulisan spektakuler, sehingga sangat produktif. Beberapa karya tulis, tercipta hanya dengan waktu beberapa jam.
Mengapa terjadi sangat paradoks? Yah, itulah dua sisi yang berbeda. Hemat saya, inspirasi itu harus diikat dengan tulisan. Apa sebenarnya inspirasi itu? Saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa inspirasi itu identik dengan ilham, yaitu "petunjuk Tuhan yang timbul di hati. Sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta (mengarang syair, lagu dsb.). Definisi ini memberi penjelasan kepada kita bahwa semua yang "menggelayut" di benak dan hati kita, itulah inspirasi. Allah SWT menguraikan :"Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya". (QS. As Syams [91] : 8).
Ilham yang harus kita raih tentunya jalan ketakwaannya. Bisa diperoleh dari proses membaca, berdialog, mengamati, pengalaman bahkan dari kontemplasi. Tentunya dibutuhkan proses pelatihan dan pembiasaan untuk mengikat inspirasi. Bahkan dari pengalaman seseorang, akan terbit "makhluk" yang disebut inspirasi.
Dari proses tersebut, bisa untuk mengawali menulis. Kendati menulis itu tidak ada jaminan dipastikan, saat mendapat inspirasi pasti bisa menulis. Seperti dalam buku "Flow di Era Socmed: Efek Dahsyat Mengikat Makna", Hernowo Hasim (2016:h.28) mengutip pendapat Rhenald Kashali bahwa banyak orang berpikir, para sarjana otomatis bisa menulis. Faktanya, banyak dosen yang mengambil program doktor kesulitan merajut pemikirannya menjadi tulisan yang baik. Hanya dengan mengajar saja tidak ada jaminan seorang pendidik bisa menulis. Menulis membutuhkan latihan dan seperti seorang pemula, ia pasti memulai dengan karya yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung buruk. Namun, sepanjang itu original, patut dihargai. Ternyata, semua tulisan diawali tidak sempurna, banyak kesalahan, kurang menarik dan cenderung kurang apresiatif.
Dari hasil pengamatan saya, dan saya sering sharing dengan guru binaan. Mayoritas mereka beralasan, saat diajak menulis selalu menjawab: sulit mencari inspirasi. Padahal dalam benak kita, tersimpan jutaan kata yang siap diluncurkan menjadi tulisan bermakna. Dari sinilah kita bisa memulai menulis.
Bagaimana kiat menerbitkan sebuah inspirasi menjadi tulisan?
Pertama dengan membaca. Membaca hasil karya, strategi jitu untuk menangkap inspirasi. Banyak orang berkeluh kesah. Kok, saya sudah membaca buku berlembar-lembar mengapa tidak ada yang tertangkap oleh otak? Keluhan seperti ini cukup beralasan. Tetapi, jangan berhenti membaca karena tidak ada konsep yang dipahami. Ubahlah mindset bahwa membaca itu sebagai upaya memproduksi gagasan. Dengan membaca, pengetahun akan lahir. Pemahaman akan "menempel" di otak kita. Bahkan bagi kita yang beragama Islam, telah diingatkan Allah SWT dengan kalimat singkat "iqro", artinya bacalah. Konteks ilmu ushul fiqih, "iqro bi ma'na amr. "Al aslul amru lil wujub" asal sebuah perintah mengindikasikan wajib. Nah, ternyata membaca itu wajib. Terlebih saat membaca Al-Quran, satu hurup diberikan "reward" sepuluh kebaikan. Bagaimana apabila membaca satu surat panjang dalam Al-Quran? Tentunya jutaan kebaikan akan kita raih. Di sinilah dahsyatnya membaca, bisa mengikat makna, meminjam istilah Hernowo Hasim dan "finally" mampu menangkap inspirasi. Bahkan bisa menyebarkan virus kebaikan yang diperoleh dari membaca.
Kedua, dengan dialog kita bisa menangkap inspirasi. Saat berdialog dengan seseorang yang kita yakini mumpuni ilmunya, tentu banyak hikmah yang diperoleh. Belajar sambil mengekplorasi ilmu. Dengan dialog akan lahir inspirasi, yang puncaknya bisa dijadikan bahan untuk menulis sebuah karya. Tetapi hindarilah, debat kusir dalam berdialog. Akhir dari dialog, bisa jadi sepakat atau diakhiri sepakat untuk tidak sepakat. Bukankah isi pikiran kita berbeda? Perbedaan itu harus kita jadikan rahmat. Dalam perbedaan, tersimpan khazanah ilmu yang memperkaya wawasan.
Lebih jelas Hernowo Hasim (2016: h.37), menguraikan secara mendalam tentang berdialog dengan diri sendiri. Salah satu manfaat langsung dan nyata yang saya rasakan ketika melatih empat kemampuan berbahasa dalam perpektif mengikat makna adalah saya, kemudian, dapat secara sangat intensif berdialog dengan diri saya sendiri. Bayangkan, diri saya yang abstrak kemudian dapat saya tampakkan dan saya baca (pahami). Ketika membaca tulisan saya sendiri, saya sesungguhnya berdialog dengan diri sendiri. Ketika mendengarkan rekaman suara saya sendiri, saya kadang berhenti dan memikirkan diri saya. Lewat tulisan dan ucapan, saya mencoba berdialog dengan diri saya, apakah yang saya komunikasikan itu jelas atau masih berantakan? Apabila ada yang tidak jelas, saya pun mencoba mengulangi dan menyampaikannya kembali. Dari analisis ini jelaslah bahwa dialog sangat penting untuk menangkap inspirasi, bahkan untuk mengevaluasi diri kita agar segala gagasan yang akan disampaikan bisa dimaknai diri sendiri dan tentunya orang di sekitar kita.
Ketiga, menangkap inspirasi dari pengalaman. Pribahasa mengatakan "experience is the best teacher". Pengalaman adalah guru terbaik. Bukankah kita semua memiliki pengalaman indah dan mengasyikkan? Yah, pasti tentunya. Dari pengalaman ini lah, akan "ngalayah" inspirasi yang bisa dijadikan bahan tulisan. Coba refleksi kembali, pengalaman sejak kecil hingga detik ini. Tentunya banyak pengalaman yang mampu membangkitkan energi positif. Subhanallah, jutaan inspirasi pasti akan kita dapatkan dari pengalaman.
Keempat, dengan kontemplasi, bisa bangkitkan inspirasi. Inspirasi atau ilham bisa ditangkap dari proses kontemplasi. Berawal dari renungan hati, dikorelasikan dengan pemikiran maka lahirlah gagasan yang siap diluncurkan. Sebagai contoh: saat saya visitasi ke RSU Hasan Sadikin Bandung, terbersit dalam benak lahirlah artikel "Sehat itu Nikmat". Saat saya mengamati kegiatan putra-putri saya yang "nyantri" di pesantren saya membuat artikel "Saat Iri kepada Santri". Terakhir, saat memperingati HUT ke-72 Kemerdekaan RI tahun 2017, tersusunlah artikel "Pendidikan yang Memerdekakan",dsb. Artikel-artikel tersebut sudah terbit di Cikarang Ekspres Koran lokal. Jelas bukan? Misteriusnya inspirasi, ternyata bisa ditangkap. Sekali tangkap, lahirlah satu buah karya. Coba bayangkan, apabila jutaan inspirasi bisa kita tangkap, tak ayal lahir jutaan karya besar yang kita miliki. Luar biasa bukan?
Kian jelas, bahwa inspirasi itu memang penuh misteri. Ada yang mengatakan "easy come easy go". Itulah inspirasi. Ternyata ada di mana-mana. Bisa kita tangkap kemudian dituliskan dengan kalimat bermakna. Sekarang sudah tidak ada alasan lagi, bahwa seseorang sulit mencari inspirasi. Bahkan apabila disadari, mencari inspirasi itu pada dasarnya inspirasi juga. Yu, kita menulis dengan inspirasi yang ada di sekitar kita. Yakinlah, dengan ikhtiar dan berdoa kepada Sang Pemilik Inspirasi, Anda pasti bisa. Hasilnya akan mengejutkan. Suatu saat Anda jagonya menangkap inspirasi, dan karya besar akan lahir dari tangan dingin Anda. Yakinlah!
Wallahu 'Alam
Banten, 20 Agustus 2017
Saat Mudif di PP Daar El Qolam Tangerang