Pencarian

>

Ketika Kewenangan Tak Berbanding Lurus Dengan Tanggung Jawab

Oleh: Agus Susanto (Penghulu KUA Kecamatan Cingambul-Kab. Majalengka)

Sejenak aku tertegun mendengar seseorang mempertanyakan mengapa seorang muslim itu dituntut sebegitu peduli atau “care” pada muslim yang lain padahal ia tidak dapat berbuat banyak, atau karena ia berada jauh diluar garis kewenangannya. Ngurusin soal kriminal itu kan tugas polisi, bukan kewenangan kita, misalnya. Kita juga pernah mendengar, ngapain repot-repot ngurusin orang yang menganut ajaran sesat, itu kan urusan dia. Pola fikir dan keyakinan dialah yang membuatnya seperti itu. Dia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkannya. Kita tidak punya kewenangan ngurusin masalah itu. Mending perbaiki aja diri kita sendiri biar tidak seperti dia, misalnya. Asumsi seperti itu sepertinya benar. Tetapi mari kita kaji kembali ajaran Islam yang kadang dianggap “merusak privasi” seseorang itu.

Pada hakikatnya, manusia di hadapan Allah SWT itu sama, tak satupun yang membedakannya kecuali kualitas taqwa. Namun, berdasarkan beberapa ayat Alquran, Islam mengakui adanya perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia disebabkan oleh adanya perbedaan pembagian fungsi, tugas, dan ilmu pengetahuan (Q.S. Al-An`am (6):165). Perbedaan kedudukan, pangkat, dan fungsi diantara manusia merupakan cobaan dari Allah SWT kepada manusia, apakah ia mampu memegang amanah, mau bersyukur, dan bertanggung jawab (Q.S. Âli `Imrân (3):26); (Q.S. Al-Baqarat (2):247). Allah juga memberikan kekuasaan dan wewenang kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kekuasaan dan wewenang itu merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya (Q.S. Al-Nisâ’ (4):58) dan harus ditaati sepanjang tidak bertolak-belakang dengan ketentuan Syari’ah.

Dalam konsep manajemen, wewenang harus dikaitkan dengan tanggung jawab. Artinya, semakin luas kewenangan seseorang, maka semakin besar pula tanggung jawab yang dipikulnya. Namun dalam konsep Islam, wewenang dan tanggung jawab serta hubungan antara keduanya boleh jadi semakin menyempit, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits Nabi yang artinya;

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, maka dengan ucapannya. Apabila ia masih tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, kendati itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits ini, maka tanggung jawab untuk menolak kemungkaran telah mempersempit makna kewenangan; terlepas dari ia punya kewenangan atau tidak, apabila seseorang melihat kemungkaran, maka ia bertanggung jawab untuk menolak atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa umat Islam dituntut begitu peduli terhadap lingkungannya, terhadap sesama muslim di sekitarnya. Wujudnya dapat berbentuk dalam banyak hal, termasuk demontrasi atas kekejian kaum Yahudi terhadap rakyat Palestina, penistaan agama, dan sebagainya.